Indonesian Web Site on Agribusiness Information
Agribusiness Online - Indonesian Agribusiness on the Net

Home



INDUSTRI KULIT KEKURANGAN BAHAN BAKU
(Material of Leather Industry Lacking)


Last Update : Minggu, 21. Oktober 2001 23:46:38


Sebanyak 30 % dari kebutuhan bahan baku untuk industri kulit dipenuhi dari pengadaan lokal, swedangkan sisanya masih harus diimpor dari beberapa negara. Semakin terbatasnya kemampuan industri lokal untuk penyediaan bahan baku antara lain disebabkan oleh makin sedikitnya jumlah sapi yang dipotong. Di samping itu harga bahan baku ikut melonjak akibat kelangkaan suplai karena banyak bahan kulit mentah, setengah proses maupun kulit samak yang diekspor menyusul depresiasi Rupiah yang semakin tajam. Keterpurukan Rupiah menyebabkan naiknya harga bahan baku impor. Harga-harga bahan penolong (additive) meningkat hampir 250 % dibandingkan sebelum krisis ekonomi. Meskipun demikian sebenarnya, tingkat permintaan luar negeri seperti negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Asian Timur atas produk-produk kulit dari Indonesia masih cukup tinggi.

Sehubungan dengan maraknya penyakit mulut dan kuku yang berjangkit di beberapa negara Eropa dan benua Amerika, Pemerintah melalui surat Dirjen Peternakan Deptan No. TN.10074/IV/03.01 tertanggal 19 Maret 2001 yang ditandatangani oleh Bachtiar Murad, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, melarang impor komoditi kulit dari negara Argentina dan Perancis. Dikeluarkannya surat pelarangan tersebut berdasarkan atas laporan Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office International Des Epizooties /OIE ) pada tanggal 22 Pebruari 2001.

Impor produk hewan ke dalam wilayah Indonesia dilakukan di bawah pengawasan yang ketat karena beberapa peraturan membatasi kegiatan importasi tersebut, tujuannya untuk mencegah penularan atau pemasukan penyakit menular seperti PMK (penyakit Mulut dan Kuku) dan Rinderpest. Keputusan Presiden No 40 tahun 1997 misalnya menyatakan bahwa kulit mentah hanya bisa diimpor dari negara-negara yang bebas penyakit hewan menular yang masuk dalam daftar A dari Office International des Epizootis (OIE). Lalu Undang-undang Nomor 6 tahun 1992 yang mewajibkan setiap impor komoditi hewan untuk wajib menjalani pemeriksaan. Bahkan lebih jelas lagi seperti dinyatakan dalam Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2000 tentang Karantina Hewan, yang memberikan kewenangan untuk menolak apabila hewan berasal dari negara atau area yang dilarang.

Sementara  Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) sangat berkeberatan dengan pelarangan tersebut yang berdampak akan sulitnya pasokan bahan baku kulit untuk industri persepatuan di Indonesia. Dengan diedarkannya surat larangan tersebut, maka sebanyak 25 kontainer kulit impor tertahan di pelabuhan Tanjung Priok.  Aprisido mengkhawatirkan bahwa pelarangan tersebut akan berdampak lebih jauh yang mengarah pada pengurangan aktivitas produksi pabrik sepatu, penurunan penerimaan devisa negara dan pajak. Sejauh ini selama periode Januari - Nopember 2000 telah dilakukan importasi komoditi kulit matang (olahan) dari Argentina sebanyak 692.979 kg senilai US$ 8.389.124. Total impor kulit dari negara-negara lain (di luar Argentina) pada kurun waktu yang sama mencapai 28.038.224 kg atau senilai US$ 175.253.189.

Mengingat langkanya pasokan kulit dalam negeri, kelangkaan bahan baku kulit dan mahalnya harga bahan baku tersebut, meskipun batasan yang ketat tidak mengecilkan usaha pemasukan ilegal kulit mentah ke pasar dalam negeri. Bulan Januari lalu sebanyak 3 kontainer dengan berat total 73,473 ton kulit mentah asal Somalia tertahan di terminal Peti Kemas Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Akibat pelarangan impor kulit mentah dan setengah jadi, krisis moneter dan pembebasan pajak ekspor, sampai saat ini sudah 74 pabrik penyamakan kulit skala menengah sampai besar sudah menghentikan kegiatan produksinya.  Selama tahun 1996 diketahui terdapat sebanyak 116 perusahaan penyamakan kulit yang mempekerjakan 16.750 orang. Tingkat utilisasi pabrik tinggal 15 % dari hanya 42 pabrik yang tersisa pada tahun 2001 ini. Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI) menyatakan bahwa instruksi pelarangan impor kulit pada hakekatnya bertentangan dengan Keppres 46/1997 tentang Karantina Kulit Impor. 

Tabel 1. Perkembangan Industri Kulit Nasional

Tahun Jumlah Pabrik
(unit)
Perusahaan Sentra Tenaga Kerja (orang) Utilisasi
 (%)

1996
1998
2000
2001

116
97
67
42
500
250
150
100
16.750
10.875
8.042
5.000
70
55
40
15
Sumber : APKI dalam Bisnis Indonesia, 24-8-01

Penyamakan Kulit

Berkurangnya jumlah ternak (ruminansia) yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH)  karena imbas krisis ekonomi yang berkepanjangan ikut menyulitkan industri penyamakan kulit dalam negeri. Beberapa perusahaan yang bergerak di industri ini sudah kesulitan untuk memperoleh pasokan bahan baku kulit. Sebuah perusahaan sejenis di daerah Malang, setiap harinya mampu menghasilkan produk kulit sebanyak 300 - 500 lembar terdiri dari kulit kambing, domba dan sapi. Pada saat nilai Dollar menguat akibat terpuruknya nilai Rupiah, kebanyakan hasil produksi tersebut diekspor ke beberapa negara Eropa dan Asia. Harga rata-rata kulit sapi setengah jadi dihitung berdasarkan satuan per square feet yaitu berkisar US$ 1,7 sedangkan harga kulit jadi (kulit sapi) dihargai US$ 2,4 - 2,6. 

Terdapat 2 jenis kulit yaitu kulit berkelas yang bebas dari pewarna dan tidak mengandung metal lebih besar dari 62,5 ppm, sedangkan kulit samak adalah kulit setengah jadi sebagai bahan baku untuk industri sepatu atau garmen.  Penyamakan kulit terdiri atas banyak proses yang saling berurutan. Pada saat kulit mentah (rohet) memasuki proses awal, akan diseleksi untuk menghasilkan (menyisihkan) kulit berkelas. Tahapan proses dilakukan dalam drum yang berkapasitas memproses 400 - 600 lembar kulit sekaligus. Penyamakan dilakukan untuk mengubah kulit mentah yang mudah rusak oleh aktivitas mikroorganisma, proses kimia maupun fisik menjadi kulit tersamak yang lebih tahan terhadap faktor-faktor perusak tersebut. Yaitu dengan memasukkan bahan penyamak ke dalam jaringan kulit yang berupa jaringan kolagen sehingga terbentuk ikatan kimia antara keduanya menjadikan lebih tahan terhadap faktor perusak. Zat penyamak bisa berupa penyamak nabati, sintetis, mineral, dan penyamak minyak.

Penyamakan kulit terdiri atas banyak proses panjang, dan garis besarnya dibagi 3 proses utama yaitu proses awal (beam house atau proses rumah basah), proses penyamakan, dan finishing. Proses awal terdiri atas perendaman (untuk mengembalikan kadar air yang hilang selama proses pengeringan sebelumnya, kulit basah lebih mudah bereaksi dengan bahan kimia penyamak, membersihkan dari sisa kotoran, darah, garam yang masih melekat pada kulit), pengapuran (membengkakan kulit untuk melepas sisa daging, menyabunkan lemak pada kulit, pembuangan sisik, pembuangan daging, pembuangan kapur (deliming) (untuk menghilangkan kapur dan menetralkan kulit dari suasana basa, menghindari pengerutan kulit, menghindari timbulnya endapan kapur), pengikisan protein, pengasaman (pickle) (untuk memberikan suasana asam pada kulit sehingga lebih sesuai dengan senyawa penyamak dan kulit lebih tahan terhadap seranga bakteri pembusuk). Pada kulit sapi, dilakukan proses pembuangan bulu menggunakan senyawa Na2S. 

Sesuai dengan jenis kulit, tahapan proses penyamakan bisa berbeda. Kulit dibagi atas 2 golongan yaitu hide (untuk kulit berasal dari binatang besar seperti kulit sapi, kerbau, kuda dll), dan skin (untuk kulit domba, kambing, reptil dll). Jenis zat penyamak yang digunakan mempengaruhi hasil akhir yang diperoleh. Penyamak nabati (tannin) memberikan warna coklat muda atau kemerahan, bersifat agak kaku tetapi empuk, kurang tahan terhadap panas. Penyamak mineral paling umum menggunakan krom. Penyamak krom menghasilkan kulit yang lebih lemas, lebih tahan terhadap panas. Lewat proses penyamakan, dilakukan proses pemeraman yaitu menumpuk atau menggantung kulit selama 1 malam dengan tujuan untuk menyempurnakan reaksi antara molekul bahan penyamak dengan kulit. 

Proses penyelesaian (finishing) menentukan kualitas hasil akhir (leather). Terdiri atas beberapa tahapan proses yang bervariasi sesuai dengan jenis kulit, bahan penyamak yang digunakan, dan kualitas akhir yang diinginkan. Proses finishing akan membentuk sifat-sifat khas pada kulit seperti kelenturan, kepadatan, dan warna kulit. Proses perataan (setting out) bertujuan untuk menghilangkan lipatan-lipatan yang terbentuk selama proses sebelumnya dan mengusahakan terciptanya luasan kulit yang maksimal. proses perataan sekaligus juga akan mengurangi kadar air karena kandungan air dfalam kulit akan terdorong keluar (striking out). Beberapa proses lanjutan lainnya adalah pengeringan (mengurangi kadar air kulit sampai batas standar biasanya 18 - 20 %), pelembaban (menaikkan kandungan air bebas dalam kulit untuk persiapan perlakuan fisik di proses selanjutnya), pelemasan (melemaskan kulit dan mengembalikan kerutan-kerutan sehingga luasan kulit menjadi normal kembali), pementangan (untuk menambah luasn kulit), pengampelasan (untuk menghalukan permukaan kulit). Kulit samakan bisa dicat untuk memperindah tampilan kulit.  

Summary :

 

Reference :

1. Bisnis Indonesia. Industri Kulit Krisis Bahan Baku. 23 Agustus 2000. hhh.
2. Bisnis Indonesia. RI Larang Impor Kulit dari Prancis dan Argentina. 3 April 2001.
     tb/msb.
3. Bisnis Indonesia. 25 Kontainer Kulit Impor Tertahan di Tanjung Priok. 17 April
    2001. tb.
4. Kompas. 73,473 Ton Kulit Mentah Diselundupkan dari Somalia. 25 Januari 2001.
    pin.
5. Agrobis, no 430, Minggu II, Juli 2001. Pengin Duit, Cobalah Bisnis Kulit. had.
6. Eddy Purnomo. Penyamakan Kulit Reptil. Penerbit Kanisius. 1991. 
7. Bisnis Indonesia. 74 Pabrik Penyamakan Kulit Terpaksa Tutup. 24 Agustus 2001. hl

See Other Articles :

 



 ! Home Visit Our Sponsors Ads Articles Ads Here  ! Main ArticlesDirectory  !