Selama 3 tahun terakhir ini pemeliharaan cacing tanah tumbuh cepat
bagaikan jamur di musim hujan, sejalan tingginya harga cacing segar (Rp
50.000 per kg). Kebanyakan suplai menyebabkan anjloknya harga jual sampai
lebih dari separuhnya. Cacing bibit masih dihargai di atas Rp 100.000 per
kg hidup. Minat banyak pihak terhadap cacing tanah menciptakan bisnis
paket pendidikan singkat dengan biaya sekitar Rp 250.000 selama 4 hari.
Cacing tanah menghasilkan kotoran (cast) di permukaan sekitar sarang.
Kotoran cacing mengandung mikro organisma, mineral anorganik dan bahan
organik yang bermanfaat bagi tanaman. Biomass cacing akan diproses
menjadi tepung cacing yang bisa dibuat kerupuk, kue kering, serta
merupakan bahan aktif dalam industri kosmetik. Substrat dalam cacing tanah
sejak lama diyakini ampuh untuk mengobati berbagai gangguan kesehatan
seperti rematik, batu ginjal, demam dan cacar. Peneliti lokal
meyakini bahwa ekstrak cacing dapat menghambat pertumbuhan bakteri
pathogen seperti Salmonela thypimurium (tifus) dan Escheria coli (diare).
Perbandingan Sifat Kimia & Kandungan Hara
Casting
(Comparison of the Available Mineral in the Worm Casts)
Parameter |
Casting ( 1 ) |
Casting ( 2 ) |
Compost (2 ) |
pH (H20)
C-organic (%)
N total (%)
P available (%)
P total (%)
Ca (me/100 g)
Mg (me/100 g)
K (me/100 g)
Na (me/100 g)
Cation Exchange Capacity (me/100 g)
Alkali Saturation (%)
|
7.1
12.8
1.7
71.0
621.0
29.2
40.0
18.1
1.0
61.3
74.0
|
6.8
20.69
1.90
33.54
61.42
30.00
15.23
10.31
2.42
68.95
84.00
|
6.0
25.04
1.19
-
-
10.75
3.13
7.26
5.30
35.5
74.48
|
Source :
(1) Damayani (1993) dalam PIBI IKOPIN (1999), Abraham.S,
Nenny.N, Siti
Mariam (1999), dalam R.Rukmana
(1999)
(2) Rikrik.W (1996) dalam Abraham.S, Nenny.N, Siti Mariam
(1999) dalam
R.Rukmana (1999) |
Tingkah Laku
Sebanyak 85 % dari berat tubuh cacing tanah berupa air, sehingga
sangatlah penting untuk menjaga media pemeliharaan tetap lembab
(kelembaban 15 - 30 %). Tubuh cacing mempunyai mekanisme untuk menjaga
keseimbangan air dengan mempertahankan kelembaban di permukan tubuh dan
mencegah kehilangan air yang berlebihan. cacing yang terdehidrasi akan
kehilangan sebagian besar berat tubuhnya dan tetap hidup walaupun
kehilangan 70 - 75 % kandungan air tubuh. Kekeringan yang berkepanjangan
memaksa cacing tanah untuk bermigrasi ke media yang lebih cocok.
Cacing sangat peka terhadap cahaya terlebih sepanjang bagian anterior
tubuh. Bagian tengah kurang peka terhadap cahaya. Cacing memiliki tonjolan
dekat bukaan mulut disebut prostomium yang terdiri atas sel-sel sensor
berstruktur seperti lensa yang menggantikan fungsi mata. Selain itu,
prostomium juga mampu membedakan material berbahaya selama proses makan.
Cahaya tidak boleh menerangi permukaan media karena kondisi terang akan
mengganggu kegiatan hidup normal di permukaan.
Biologi
Spesies cacing tanah yang umum dipelihara adalah Lumbricus terrestris,
L. rubellus, Eisenia foetida, Allolobophora caliginosa dan A. chlorotica
dari keluarga Lumbricidae. Spesies umum lainnya adalah Pheretima asiatica,
Perionyx excavatus dari keluarga Megascolecidae, dan juga Diplocardia
verrucosa dari keluarga Acanthrodrilidae, serta Eudrilus eugeniae dari
keluarga Octochaetidae.
|
(A.K.Simanjuntak dan D.Walujo. Cacing
Tanah, Budidaya dan Pemanfaatannya. 1982. hal 6 |
Bagian luar tubuh terdiri atas segmen-segmen yang jumlah dan lebarnya
berbeda menurut spesies. Cacing tanah adalah hermaprodit dengan alat
kelamin jantan dan betina pada bagian ventral atau ventro lateral. Cacing
dewasa kelamin ditandai dengan adanya klitelum ( seperti cincin atau
pelana berwarna muda mencolok melingkari tubuh sepanjang segmen tertentu)
pada umur 2,5 bulan. Klitelum terkait dengan produksi kokon. Klitelum pada
spesies L. rubellus dimulai pada segmen 22 memanjang 4 sampai 10 segmen ke
posterior. Alat kelamin jantan dan betina terdapat mulai segmen 9 sampai
15 menurut spesies. Untuk menghasilkan telur fertil, cacing harus mencari
pasangan dan saling menukar sperma yang akan membuahi sel telur. Pembuahan
akan terjadi dalam masing-masing lubang kelamin betina. Setelah pembuahan,
sepanjang permukaan klitelum akan mengeluarkan lendir yang akan dmengeras
dan bergerak ke belakang terdorong oleh gerak maju cacing. Pada saat
melewati lubang kelamin betina, telur-telur yang sudah dibuahi akan masuk
ke dalam selubung kokon tersebut.
Kokon yang diletakkan pada kondisi lingkungan yang cocok akan menetas
dalam 14 - 21 hari. Jumlah telur dalam kokon beragam, biasanya lebih dari
10 butir. Tergantung spesies, cacing dewasa mampu menghasilkan lebih dari
2 kokon setiap 5 - 10 hari. Perhitungan kasar menunjukkan setiap 100
cacing dewasa dalam kurun waktu 1 tahun dapat menghasilkan 100.000 cacing.
Waktu Pertumbuhan Beberapa Cacing Lumbricid
(Time of Development for some Lumbricid Worms)
Species |
No of Cocoons
/worm/year
|
Incubation Time
of Cocoons (wk)
|
Growth Period (weeks)
|
Development (weeks)
|
E. foetida
D.subrubicunda
L. rubellus
L. castaneus
E. rosea
A. caliginosa
A. chlorotica
A. terrestris |
11
42
106
65
8
27
27
8 |
11
8.5
16
14
17.5
19
12.5
10 |
55
30
37
24
55
55
36
50 |
66
38.5
53
38
72.5
74
48.5
60 |
Source : From Wilcke, 1952 in C.A.Edwards and
J.R.Lofty (1977) |
|
Cacing tanah bergerak menggunakan setae untuk mencengkeram atau membantu
proses perkawinan. Lubang (pori-pori) yang terletak sepanjang ventral
berhubungan dengan nephridia (organ utama pensekresi bahan nitrogen) di
dalam tubuh. Pori-pori berfungsi mempertahankan kelembaban permukaan sebab
cacing bernapas melalui kulit yang lembab. Sebagai reaksi atas rangsangan
luar misalnya sentuhan mendadak, cacing secara spontan akan mengeluarkan
lendir melalui pori-pori yang sama dalam upaya melepaskan diri dari
ancaman tersebut.
Pemeliharaan
Bagian penting dalam pemeliharaan cacing tanah adlah menyiapkan media
yang cocok, yang dapat mendukung pertumbuhan optimum. Media bisa
ditempatkan dalam kotak plastik, anyaman bambu, maupun bak batako.
Kotak-kotak media disusun pada rak bertingkat 4, yang ditaruh dalam
ruangan terlindung dari terpaan cahaya. Tingkat kepadatan tebaran cacing
sangat tergantung pada volume media. Media seberat 250 g cukup untuk
menampung 250 g cacing dewasa. Media dan makanan tambahan adalah dua hal
yang berbeda, tetapi cacing dapat memakan keduanya. Media terdiri atas
campuran beberapa bahan organik (limbah pertanian, limbah pasar dll) yang pada awal pembuatannya dicampur air
dan diaduk berulang kali utuk menyempurnakan proses fermentasi. Empat
minggu kemudian dicampur dengan kotoran hewan (perbandingan 70 : 30).
Kapur bisa ditambahkan (1 : 100 bahan organik) untuk mencapai pH
netral.
Untuk menghindari kekeringan, permukaan media dilapisi plastik. Media
sudah dianggap cocok apabila pH mencapai 6,0 - 7,2 ; tingkat kelembaban 15
- 30 % dan suhu antara 15 - 25 oC. Cacing tetap dapat tinggal dalam media
bersuhu di atas 25 oC asalkan ternaungi dan mempunyai ventilasi yang baik.
Mengingat cacing tidak dilengkapi gigi, sebaiknya makanan tambahan
diberikan dalam bentuk bubur (campuran air dan bahan padat 75 : 25) dan
disebarkan merata di permukaan media. Makanan tambahan biasanya terdiri
atas kotoran hewan, daun berprotein tinggi, sayuran, jagung, katul, limbah
industri dan lain-lain. Sewaktu memberikan makanan, taruh agak ke dalam
lubang sebab cacing dewasa lebih suka makan di dalam lubang ketimbang
cacing muda yang makan di permukaan. Dalam waktu 24 jam 1 kg cacing dewasa
dapat menghabiskan 1 kg makanan tambahan.
Media sebaiknya diganti dengan yang baru apabila media lama terlihat
sudah penuh dengan cast dan kokon. Jika biomass cacing yang menjadi tujuan
pemeliharaan, panen bisa dilakukan setiap 2,5 - 3 bulan. Seleksi untuk
mendapatkan stok pengganti harus dilakukan terhadap cacing dewasa berumur
4 bulan. Cast bisa dikumpulkan setiap 1 - 2 hari. Pemeliharaan 1 kg cacing
dewasa akan menghasilkan 10 kg cast dalam 2 bulan atau setara 225 kg
biomass cacing setiap tahun.
Summary :
At the last 3 years raising earthworm become most popular every where
since the price for fresh worm getting higher (Rp 50,000 ~ US$ 5 / kg).
Even too much supply than bring the price lower to almost half. Beside,
the cast produced would be another kind of output which is quite popular
for using as organic fertilizer. Since cast contain such a micro organism, inorganic mineral, and organic matter much usefull for plant. Worm
casts had a bacterial count of 32.0 million per g compared with 6.0 -
9.0 million per g found in surrounding soil (Teotia in Edwards and Lofty, 1977).
Worm biomass in several area were processed into powder for cake, chips,
and more specific purpose as active ingredient in cosmetic industry. The
substrate in worm was believed effective to cure rheumatism, kidney stone,
fever and smallpox. Some local workers through their research convinced
that the extract (of worm) can inhibit the development of pathogenic
bacteria such as Salmonela thypimurium (typhus) and Escheria coli (diarrhea).
Behavior. Worms much depend on water supply of the media since water
constitutes 85 % of their body weight. They have mechanism to maintain
water balance in order to keep body surface moist and prevent excessive
dehydration. Even they can tolerate for lossing 70 - 75 % of body water
by migrating to a more suitable media or by aestivating. Earthworms are sensitive to light by having sensory cells with a lens
like structure of the epidermis, dermis, and prostomium (a lobe overhanging the mouth on the first segement). Media should not fascilitated
with strong light since it can prevent worms for crawling over the surface (eating, burrowing, copulating).
Biology. There are 9 species of earthworm most popular for cultivation
such as Lumbricus terrestris, L.rubellus, Eisenia foetida, Allolobophora
caliginosa, A.chlorotica from family Lumbricidae; Pheretima asiatica,
Perionyx excavatus from family Megascolecidae; Diplocordia verrucosa
from family Acanthrodrilidae; Eudrilus eugeuniae from family
Octochaetidae. At least four species have been commercially cultivated in Indonesia that is L.rubellus (local name Jayagiri worm, E.foetida, P.asiatica,
and E.euginea. Beside still another local species less popular (since
they do not possitive repond to the cultivation), that is cacing kalung
(cacing = worms), cacing koot, cacing sondari (Metaphire longa). The most popular eathworm species, L.rubellus, also known in local name
as European worms, has several characteristic such as body length bet-
ween 8 - 14 cm, total segment 95 - 100, brown bright color to reddish
purple on dorsal while the ventral part showed cream colored, clitelum
located on segment number 27 - 32 as much as 6 - 7 segments length, male organs on segment 14 and female organs on segment 13, the movement
quite slow.
Cultivation. The most important in raising the earthworms is to provide
suitable media as mainly can support their normal life activity. Media
can be placed in plastic bags, box made of bamboo plait or concrete brix. Boxes stack into 4 story rack which than placed in room sheltered
from light. The spread density of worms much depend on the media volume,
recommended to spread 250 g mature worms into 250 g media. Media consist
of several organic matter (water added) mixed together and let for 4
weeks to complete the fermentation process. Mixed with animal dung
(ratio 70 : 30) then add lime (1 % of organic matter) to neutralized the
pH (6.0 - 7.2). Media will become suitable for earthworms as moisture
content to reach 15 - 30 %, temperature 15 - 25 oC. Whenever the surface fulled with casts and cocoons, should the media change with the
new one. Supplemented porridge food slightly scattered over the surface.
Within 24 hours, 1 kg of mature worms can consumpt almost 1 kg of food.
If worm biomass is the main purpose, harvest can be done for every 2.5 -
3 months. Worm casts can be collected every 1 - 2 days. For every 1 kg
mature worm, farmers would have to yield almost 10 kg of worm casts in
2 months or equal with 225 kg of worm biomass every year.
|
Reference :
1. Putra. F.A, Ny Kartini Hidup Bersama Cacing. Kompas. 18 September
1999.
2. Khoeruddin, I. Banyak Yang Tergiur Menjadi Jutawan Cacing. Suara
Merdeka.
26 Agustus 1999.
3. Try, H. Ny Lies Umami Kerupuk Cacing Hingga Jus Cacing. Kompas. 14
Nopember 1999.
4. C.A.Edwards dan J.R. Lofty. Biology of Earthworms. 1977.
5. Rahmat, R. Budi Daya Cacing Tanah. 1999
6. A.K. Simanjuntak dan D. Walujo. Cacing Tanah Budi Daya dan
Pemanfaatannya.
1982.
|
|