Sebanyak 30 % dari kebutuhan bahan baku
untuk industri kulit dipenuhi dari pengadaan lokal, swedangkan sisanya
masih harus diimpor dari beberapa negara. Semakin terbatasnya kemampuan
industri lokal untuk penyediaan bahan baku antara lain disebabkan oleh
makin sedikitnya jumlah sapi yang dipotong. Di samping itu harga bahan
baku ikut melonjak akibat kelangkaan suplai karena banyak bahan kulit
mentah, setengah proses maupun kulit samak yang diekspor menyusul
depresiasi Rupiah yang semakin tajam. Keterpurukan Rupiah menyebabkan
naiknya harga bahan baku impor. Harga-harga bahan penolong (additive)
meningkat hampir 250 % dibandingkan sebelum krisis ekonomi. Meskipun
demikian sebenarnya, tingkat permintaan luar negeri seperti negara-negara
Eropa, Amerika Serikat dan Asian Timur atas produk-produk kulit dari
Indonesia masih cukup tinggi.
Sehubungan dengan maraknya penyakit mulut dan kuku yang berjangkit di
beberapa negara Eropa dan benua Amerika, Pemerintah melalui surat Dirjen
Peternakan Deptan No. TN.10074/IV/03.01 tertanggal 19 Maret 2001 yang
ditandatangani oleh Bachtiar Murad, Direktur Kesehatan Masyarakat
Veteriner, melarang impor komoditi kulit dari negara Argentina dan
Perancis. Dikeluarkannya surat pelarangan tersebut berdasarkan atas
laporan Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office International Des Epizooties
/OIE ) pada tanggal 22 Pebruari 2001.
Impor produk hewan ke dalam wilayah Indonesia dilakukan di bawah
pengawasan yang ketat karena beberapa peraturan membatasi kegiatan
importasi tersebut, tujuannya untuk mencegah penularan atau pemasukan
penyakit menular seperti PMK (penyakit Mulut dan Kuku) dan Rinderpest.
Keputusan Presiden No 40 tahun 1997 misalnya menyatakan bahwa kulit mentah
hanya bisa diimpor dari negara-negara yang bebas penyakit hewan menular
yang masuk dalam daftar A dari Office International des Epizootis (OIE).
Lalu Undang-undang Nomor 6 tahun 1992 yang mewajibkan setiap impor
komoditi hewan untuk wajib menjalani pemeriksaan. Bahkan lebih jelas lagi
seperti dinyatakan dalam Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2000
tentang Karantina Hewan, yang memberikan kewenangan untuk menolak apabila
hewan berasal dari negara atau area yang dilarang.
Sementara Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) sangat
berkeberatan dengan pelarangan tersebut yang berdampak akan sulitnya
pasokan bahan baku kulit untuk industri persepatuan di Indonesia. Dengan
diedarkannya surat larangan tersebut, maka sebanyak 25 kontainer kulit
impor tertahan di pelabuhan Tanjung Priok. Aprisido mengkhawatirkan
bahwa pelarangan tersebut akan berdampak lebih jauh yang mengarah pada
pengurangan aktivitas produksi pabrik sepatu, penurunan penerimaan devisa
negara dan pajak. Sejauh ini selama periode Januari - Nopember 2000 telah
dilakukan importasi komoditi kulit matang (olahan) dari Argentina sebanyak
692.979 kg senilai US$ 8.389.124. Total impor kulit dari negara-negara
lain (di luar Argentina) pada kurun waktu yang sama mencapai 28.038.224 kg
atau senilai US$ 175.253.189.
Mengingat langkanya pasokan kulit dalam negeri, kelangkaan bahan baku
kulit dan mahalnya harga bahan baku tersebut, meskipun batasan yang ketat
tidak mengecilkan usaha pemasukan ilegal kulit mentah ke pasar dalam
negeri. Bulan Januari lalu sebanyak 3 kontainer dengan berat total 73,473
ton kulit mentah asal Somalia tertahan di terminal Peti Kemas Pelabuhan
Tanjung Priok Jakarta. Akibat pelarangan impor kulit mentah dan setengah
jadi, krisis moneter dan pembebasan pajak ekspor, sampai saat ini sudah 74
pabrik penyamakan kulit skala menengah sampai besar sudah menghentikan
kegiatan produksinya. Selama tahun 1996 diketahui terdapat sebanyak
116 perusahaan penyamakan kulit yang mempekerjakan 16.750 orang. Tingkat
utilisasi pabrik tinggal 15 % dari hanya 42 pabrik yang tersisa pada tahun
2001 ini. Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI) menyatakan bahwa
instruksi pelarangan impor kulit pada hakekatnya bertentangan dengan
Keppres 46/1997 tentang Karantina Kulit Impor.
Tabel 1. Perkembangan Industri Kulit Nasional |
|
Tahun |
Jumlah Pabrik
(unit) |
Perusahaan Sentra |
Tenaga Kerja (orang) |
Utilisasi
(%) |
1996
1998
2000
2001 |
116
97
67
42 |
500
250
150
100 |
16.750
10.875
8.042
5.000 |
70
55
40
15 |
Sumber : APKI dalam Bisnis Indonesia,
24-8-01 |
Penyamakan Kulit
Berkurangnya jumlah ternak (ruminansia) yang dipotong di
Rumah Potong Hewan (RPH) karena imbas krisis ekonomi yang
berkepanjangan ikut menyulitkan industri penyamakan kulit dalam negeri.
Beberapa perusahaan yang bergerak di industri ini sudah kesulitan untuk
memperoleh pasokan bahan baku kulit. Sebuah perusahaan sejenis di daerah
Malang, setiap harinya mampu menghasilkan produk kulit sebanyak 300 - 500
lembar terdiri dari kulit kambing, domba dan sapi. Pada saat nilai Dollar
menguat akibat terpuruknya nilai Rupiah, kebanyakan hasil produksi
tersebut diekspor ke beberapa negara Eropa dan Asia. Harga rata-rata kulit
sapi setengah jadi dihitung berdasarkan satuan per square feet yaitu
berkisar US$ 1,7 sedangkan harga kulit jadi (kulit sapi) dihargai US$ 2,4
- 2,6.
Terdapat 2 jenis kulit yaitu kulit berkelas yang bebas
dari pewarna dan tidak mengandung metal lebih besar dari 62,5 ppm,
sedangkan kulit samak adalah kulit setengah jadi sebagai bahan baku untuk
industri sepatu atau garmen. Penyamakan kulit terdiri atas banyak
proses yang saling berurutan. Pada saat kulit mentah (rohet) memasuki
proses awal, akan diseleksi untuk menghasilkan (menyisihkan) kulit
berkelas. Tahapan proses dilakukan dalam drum yang berkapasitas memproses
400 - 600 lembar kulit sekaligus. Penyamakan dilakukan untuk mengubah
kulit mentah yang mudah rusak oleh aktivitas mikroorganisma, proses kimia
maupun fisik menjadi kulit tersamak yang lebih tahan terhadap
faktor-faktor perusak tersebut. Yaitu dengan memasukkan bahan penyamak ke
dalam jaringan kulit yang berupa jaringan kolagen sehingga terbentuk
ikatan kimia antara keduanya menjadikan lebih tahan terhadap faktor
perusak. Zat penyamak bisa berupa penyamak nabati, sintetis, mineral, dan
penyamak minyak.
Penyamakan kulit terdiri atas banyak proses panjang, dan garis besarnya
dibagi 3 proses utama yaitu proses awal (beam house atau proses rumah
basah), proses penyamakan, dan finishing. Proses awal terdiri atas perendaman
(untuk mengembalikan kadar air yang hilang selama proses pengeringan
sebelumnya, kulit basah lebih mudah bereaksi dengan bahan kimia penyamak,
membersihkan dari sisa kotoran, darah, garam yang masih melekat pada
kulit), pengapuran (membengkakan kulit untuk melepas sisa
daging, menyabunkan lemak pada kulit, pembuangan sisik, pembuangan daging,
pembuangan kapur (deliming) (untuk menghilangkan kapur dan
menetralkan kulit dari suasana basa, menghindari pengerutan kulit,
menghindari timbulnya endapan kapur), pengikisan protein, pengasaman
(pickle) (untuk memberikan suasana asam pada kulit sehingga lebih sesuai
dengan senyawa penyamak dan kulit lebih tahan terhadap seranga bakteri
pembusuk). Pada kulit sapi, dilakukan proses pembuangan bulu menggunakan
senyawa Na2S.
Sesuai dengan jenis kulit, tahapan proses penyamakan bisa berbeda. Kulit
dibagi atas 2 golongan yaitu hide (untuk kulit berasal dari binatang besar
seperti kulit sapi, kerbau, kuda dll), dan skin (untuk kulit domba,
kambing, reptil dll). Jenis zat penyamak yang digunakan mempengaruhi hasil
akhir yang diperoleh. Penyamak nabati (tannin) memberikan warna coklat
muda atau kemerahan, bersifat agak kaku tetapi empuk, kurang tahan
terhadap panas. Penyamak mineral paling umum menggunakan krom. Penyamak
krom menghasilkan kulit yang lebih lemas, lebih tahan terhadap panas.
Lewat proses penyamakan, dilakukan proses pemeraman yaitu menumpuk atau
menggantung kulit selama 1 malam dengan tujuan untuk menyempurnakan reaksi
antara molekul bahan penyamak dengan kulit.
Proses penyelesaian (finishing) menentukan kualitas hasil akhir (leather).
Terdiri atas beberapa tahapan proses yang bervariasi sesuai dengan jenis
kulit, bahan penyamak yang digunakan, dan kualitas akhir yang diinginkan.
Proses finishing akan membentuk sifat-sifat khas pada kulit seperti
kelenturan, kepadatan, dan warna kulit. Proses perataan (setting out)
bertujuan untuk menghilangkan lipatan-lipatan yang terbentuk selama proses
sebelumnya dan mengusahakan terciptanya luasan kulit yang maksimal. proses
perataan sekaligus juga akan mengurangi kadar air karena kandungan air
dfalam kulit akan terdorong keluar (striking out). Beberapa proses
lanjutan lainnya adalah pengeringan (mengurangi kadar air kulit sampai
batas standar biasanya 18 - 20 %), pelembaban (menaikkan kandungan air
bebas dalam kulit untuk persiapan perlakuan fisik di proses selanjutnya),
pelemasan (melemaskan kulit dan mengembalikan kerutan-kerutan sehingga
luasan kulit menjadi normal kembali), pementangan (untuk menambah luasn
kulit), pengampelasan (untuk menghalukan permukaan kulit). Kulit samakan
bisa dicat untuk memperindah tampilan kulit.
|