Berdasarkan Undang-Undang No 6 Tahun 1967
tentang Iklim Usaha Peternakan Ayam ras dan Keputusan Presiden No 50 Tahun
1981, yang sampai saat ini belum pernah dicabut, bahwa usaha peternakan
unggas (ayam ras) skala kecil perlu dilindungi dari dominasi industri
perunggasan besar. Bahkan sampai sekarang, Keputusan itu menimbulkan
polemik yang tumpang tindih karena kenyataannya di lapangan bisa lain.
Sejalan dengan keterpurukan ekonomi, ketatnya anggaran Pemerintah untuk
pembangunan perunggasan menjadi salah satu pertimbangan untuk mengeluarkan
aturan pembatasan skala usaha perunggasan dari Daftar Negatif Investasi
(DNI). Strategi ini memungkinkan investor asing memasuki elemen-elemen
industri perunggasan seperti peternakan pembibitan, peternakan komersial,
pabrik pakan ternak dan pabrik pengolahan hasil unggas.
Bahkan di Jawa Barat yang sudah sejak lama tidak dikeluarkan ijin baru
untuk investasi di sektor peternakan pembibitan, tetapi dengan adanya
kebijakan pencabutan dari DNI akan banyak kemungkinan investasi baru.
Perusahaan besar yang sudah terintegrasi seperti PT Charoen Pokphand, PT
Japfa Comfeed Tbk, PT Gold Coin Indonesia, Cheil Jedang (Cheil Samsung)
dan PT cargill Indonesia dipastikan akan berekspansi ke segala bidang,
setidaknya sampai masa krisis in terlewati.
Kebijakan baru tersebut akan sangat mengetatkan kompetisi di pasar lokal
dan suka atau tidak suka akan mengancam kebebasan (independensi) usaha
perunggasan skala kecil. Peternak ayam skala kecil akan menghadapi banyak
masalah dikarenakan biaya tinggi dan inefisiensi produksi. Padahal harga
daging broiler dan telur ayam biasa berfluktuasi secara drastis. Pada saat
ini ditaksir terdapat 65.000 peternak skala kecil. Di kemudian hari,
apabila peternak ingin tetap survive, harus bermitra dengan industri besar
yang terintegrasi.
Kemampuan industri perunggasan Indonesia sangat menurun sepanjang krisis
perekonomian yang mulai menggejala di akhir 1997. Sejak itu, tidak ada
ekspansi, pabrik pakan berproduksi jauh di bawah kapasitas terpasang,
kebangkrutan peternakan yang ditandai dengan pengurangan populasi ayam
baik pada tingkat pembibitan maupun komersial, serta biaya impor yang
tinggi akibat terpuruknya nilai Rupiah terhadap dollar Amerika.
Dibandingkan saat sebelum krisis dimulai, populasi boiler ada 670 juta
ekor yang turun drastis menjadi 200 juta ekor. Populasi ayam petelur dari
68,8 juta ekor berkurang menjadi 30 juta ekor., dan fenomena yang sama
menimpa populasi ayam bibit dari 9 juta ekor turun menjadi 2,3 juta ekor.
Upaya-upaya perbaikan berlangsung sangat lamban sampai sekarang.
Kebangkrutan sebagian besar peternakan mengosongkan kemampuan produksi
pabrik pakan yang terpaksan beroperasi hanya sepertiga dari kapasitas
terpasang. Harga daging dan telur ayam melonjak tinggi karena kelangkaan
barang. Krisis itu sendiri telah menurunkan daya beli masyarakat terhadap
produk peternakan yang menjadi mahal harganya. Konsumen mulai beralih pada
bahan makanan sumber protein alternatif.. Konsumsi daging broiler per
kapita turun dari 4,1 kg per kapita pada tahun 1997 menjadi hanya 2,6 kg
di saat krisis. Demikian pula konsumsi telur turun dari 67 butir per
kapita menjadi hanya 40 butr per kapita per tahun.
|