Ikan kerapu merupakan ikan air laut yang
belakangan ini dihargai cukup tinggi khususnya untuk konsumsi
restoran-restoran besar di dalam maupun di luar negeri. . Ikan kerapu
biasa diekspor dalam keadaan hidup ke beberapa negara seperti Singapura,
Jepang, Hongkong, Taiwan, Malaysia dan Amerika Serikat. Harga ikan kerapu
di tingkat nelayan saat ini Rp 70.000 per kg hidup, bahkan untuk spesies
tertentu yang lebih langka bisa dihargai jauh lebih mahal. Tingkat harga
yang menarik dan kecocokan lingkungan budi daya ikan kerapu di banyak
perairan pantai di wilayah Indonesia banyak menarik minat Pemerintah
Daerah untuk bermitra dengan Perguruan Tinggi dan Pengusaha melakukan
eksplorasi atas peluang investasi tersebut. Penyediaan benih, sampai
sejauh ini, masih sangat tergantung dari hasil tangkapan dari alam.
Studi-studi kelayakan yang dilakukan di Pangkalan Susu (Langkat, Sumatera
Utara) dan di Pacitan (Jawa Timur) membuka peluang untuk investasi
budidaya ikan kerapu dengan sistem media tambak maupun sistem karamba
terapung. Pemda Kabupaten Pacitan bekerjasama dengan Peneliti Universitas
Indonesia memetakan areal potensial seluas 4 ha di pantai selatan Jawa.
Kedekatan dengan konsumen di tujuan ekspor utama seperti Singapura maupun
pasar domestik di Batam merupakan keuntungan tersendiri bagi pengembangan
perikanan kerapu di Langkat, Sumatera Utara. Badan Pengembangan Sumber
Daya Koperasi dan PKM di wilayah itu sudah merintis budi daya kerapu yang
melibatkan 265 petani nelayan.
Tidak semua wilayah pantai cocok untuk budi daya kerapu, oleh karena itu
penentuan lokasi harus memperhitungkan beberapa faktor penting
antara lain
:
a. Terlindung dari gelombang besar dan badai, sebab ikan mudah menjadi
stres dan
menurunkan selera makan apabila terus menerus dihantam
gelombang,
b. Terlindung dari ancaman predator yaitu hewan buas laut (ikan butal dan
ikan besar
lainnya) dan burung laut,
c. Terlindung dari ancaman pencemaran buangan limbah industri, limbah
pertanian dan
limbah rumah tangga,
d. Terlindung dari hilir mudik lalu lintas kapal karena selain akan
menimbulkan riak-riak
gelombang juga buangan kapal (minyak solar dll) akan
mencemari area pemeliharaan.
Penentuan kelayakan lokasi untuk pemeliharaan ikan kerapu dengan sistem
karamba jaring apung menggunakan tabel bobot angka berdasarkan pengamatan
atas parameter-parameter kunci. Lokasi dinyatakan baik apabila nilai 80 -
100, layak untuk kisaran 70 - 79, masih layak asalkan parameter yang tidak memenuhi
syarat diperbaiki dengan pendekatan teknologi, dan kategori terakhir
bernilai lebih kecil 60 untuk tidak dapat dipertimbangkan.
Table 1. Evaluasi Penilaian Lokasi
Karamba Jaring Apung
(Location Rating System for Floating Net Karamba) |
Parameter |
Rating Value |
Credit |
Value |
Ecological Factor |
|
|
|
A. Tinggi Air Pasang (meter)
High Tide (meter)
|
> 1.0 = 5
0.5 - 1.0 = 3
< 0.5 = 1 |
2
|
10
6
2 |
B. Arus (meter / detik)
Marine Current (meter/second)
|
0.2 - 0.4 = 5
0.005 - 0.2 = 3
0.4 - 0.5 = 1 |
2
|
10
6
2 |
C. Kedalaman Air dari dasar Jaring
(meter)
Water Depth from Net Bottom
(meter)
|
> 10 = 5
4 - 10 = 3
< 4 = 1 |
2
|
10
6
2 |
D. Oksigen Terlarut (ppm)
Soluble Oxygen (ppm)
|
5 = 5
3 - 5 = 3
< 3 = 1 |
2
|
10
6
2 |
E. Perubahan Cuaca
Weather Change
|
Rare = 5
Moderate = 3
Frequent = 1 |
2
|
10
6
2 |
Endorsing Factor |
|
|
|
A. Sumber Listrik
Electric Supply
|
Good = 5
Adequate = 3
Poor = 1 |
1
|
5
3
1 |
B. Sumber Pakan
Feed Supply
|
Good = 5
Adequate = 3
Poor = 1 |
1
|
5
3
1 |
C. Tenaga Kerja
Manpower
|
Good = 5
Adequate = 3
Poor = 1 |
1
|
5
3
1 |
D. Ketersediaan Benih
Fry Supply
|
Good = 5
Adequate = 3
Poor = 1 |
1
|
5
3
1 |
E. Pencemaran
Pollution
|
Good = 5
Adequate = 3
Poor = 1 |
1
|
5
3
1 |
|
Adapted from :
Tiensongusmee et al., 1986 (in P. Sunyoto, 2000) |
|
Tabel 2. Areal Berpotensi untuk Budidaya
Kerapu Sistem Karamba Jala Apung di Perairan Indonesia
(Potential Region for Grouper Cultivation with Floating Net
Karamba System) |
Province |
Region |
Area (hectare) |
Aceh |
Weh Island, Sabang, Lnok Sudu Gulf, Simeulu
Island |
200
|
West Sumatera |
Ma Siperut, Sikapa, Siobar, Sipora Island,
Sikkap Burial Island, Tarusan, Painan |
100
|
Riau |
Batam Island, Bintan Island |
350 |
Jambi |
Nipah Panjang, Kg Laut, Kuala Tungkal |
50 |
South Sumatera |
Bangka |
200 |
Lampung |
Hurun Gulf, Lampung Gulf |
800 |
West Java |
Banten Gulf |
400 |
East Java |
Gili Genteng Gulf, Grajakan, Banyuwangi, Perigi,
Sendang Biru |
300
|
Bali |
Pejarakan |
50 |
West Nusa Tenggara |
Ekas Gulf, Waru Kelapa Gulf, Tanjung Sabodo,
Saleh Sumbawa Gulf |
440
|
North Sulawesi |
Sangihe Island |
200 |
South Sulawesi |
Ujung Pandang, Pinrang, Slayar |
200 |
East Kalimantan |
Tarahan, Berau, Bontang, Sengkuriang, Adang Gulf |
110
|
Maluku |
Ambon |
200 |
|
Adapted from : Tiensungusmee et al,
1989 (in P. Sunyoto, 2000) |
|
|
Spesies Ikan
Dalam pergaulan internasional kerapu dikenal dengan nama grouper
atau trout, mempunyai sekitar 46 spesies yang tersebar di berbagai jenis
habitat. Dari semua spesies tersebut, bisa dikelompokkan ke dalam 7 genus
meskipun hanya 3 genus yang sudah dibudidayakan dan menjadi jenis
komersial yaitu genus Chromileptes, Plectropomus, dan Epinephelus.
Spesies kerapu komersial Chromileptes altivelis termasuk
jenis Serranidae, ordo Perciformes. Jenis kerapu ini disebut juga polka
dot grouper atau hump backed rocked atau dalam bahasa lokal sering disebut
ikan Kerapu Bebek. Ciri-ciri tubuh adalah berwarna dasar
abu-abu dengan bintik hitam. Daerah habitatnya meliputi Kep. Seribu, Kep.
Riau, Bangka, Lampung dan kawasan perairan terumbu karang. Kerapu
Sunuk (coral trout) sering ditemukan hidup di perairan berkarang.
Warna tubuh merah atau kecoklatan sehingga disebut juga kerapu merah, yang
warnanya bisa berubah apabila dalam kondisi stres. Mempunyai bintik-bintik
biru bertepi warna lebih gelap. Daerah habitat tersebar di perairan Kep.
Karimanjawa, Kep. Seribu, Lampung Selatan, Kep. Riau, Bangka Selatan, dan
perairan terumbu karang. Kerapu Lumpur atau estuary grouper
(Epinephelus spp) mempunyai warna dasar hitam berbintik-bintik sehingga
disebut juga kerapu hitam. Spesies ini paling banyak dibudidayakan karena
laju pertumbuhannya yang cepat dan benih relatif lebih banyak ditemukan.
Daerah habitat banyak ditemukan di Teluk Banten, Segara Anakan, Kep.
Seribu, Lampung, dan daerah muara sungai.
Aspek Pemeliharaan
Balai Penelitian masih kesulitan untuk menghasilkan benih kerapu
dalam pemeliharaan buatan, sehingga menjadi kendala dalam pengembangan
budidaya kerapu dalam hal penyediaan benih. Sarana penangkapan benih bisa
menggunakan alat pancing (di daerah persembunyian ikan kerapu di rumpon
ikan bekas kapal tenggelam dll), jaring angkat yang diikat di antara 2
perahu (rakit) atau ditancapkan ke dasar perairan, sero (perangkap pagar
bambu untuk penggunaan di perairan pasang surut), bubu (semacam keranjang
dari bambu atau anyaman kawat yang ditempatkan di dasar perairan), jaring
kantong, dan jaring dorong. Dari lokasi penampungan benih ke tempat
budidaya kerapu, diangkut dalam kantong plastik berkapasitas 20 l yang
diisikan 3 l air laut untuk 20 ekor benih dengan berat rata-rata 25 gram.
Suhu dalam kantong diusahakan 17 - 20 oC dn lama pengangkutan 1 - 2 hari.
Pengangkutan jarak jauh (antar pulau) menggunakan sistem transportasi yang
lebih aman.
Tabel 3. Padat Penebaran Benih
(Fry Spreading Density) |
Weight / Long Size of Fry |
Spreading Density |
Two to three cm |
200 - 250 heads per m3 |
Five cm |
100 heads per m3 |
20 - 50 gram per head |
50 - 60 heads per m3 |
100 - 200 gram per head |
25 - 35 heads per m3 |
|
Pakan ikan kerapu untuk tahapan pembesaran berupa ikan
rucah (ikan non ekonomis) yaitu antara lain ikan tembang, selar, dan
rebon. Ikan rucah dipotong-potong untuk menyesuaikan dengan mulut ikan.
Selama masa pendederan diberikan pakan sebanyak 2 - 3 kali sehari sampai
ikan terlihat kenyang. Memasuki tahap pembesaran, pakan ikan rucah
diberikan per hari sebesar 15 % dari total biomass ikan kerapu berukuran
20 - 50 g. Seterusnya jumlah pakan diturunkan seiring dengan pertumbuhan
ikan. Jumlah pakan dapat diturunkan menjadi 10 % dari biomass untuk ikan
seberat 100 g. waktu pemberian pakan yang terbaik adalah sesaat setelah
matahari terbit atau sesaat sebelum matahari terbenam.
Berat pasar untuk ikan kerapu adalah sekitar 500 gram yang cukup berbeda
menurut spesies (ikan kerapu lumpur mempunyai ukuran konsumsi antara 400 -
1200 g, sementara kerapu bebek antara 500 - 2000 g). Laju pertumbuhan
harian berbeda menurut spesies dan berat tubuh. Kerapu berbobot awal 50 -
100 g akan bertumbuh 2 - 3 % per hari sedangkan berat 200 - 300 g tumbuh
0,7 - 1,5 % per hari. Dibutuhkan waktu pemeliharaan selama 5 bulan untuk
mencapai berat komersial 500 g (dari bobot awal 100 g). Ikan kerapu
lumpur diberi pakan ikan rucah mempunyai nilai koversi pakan 5 -
8, sedangkan kerapu sunuk 8 - 12.
Pemeliharaan kerapu bisa dilakukan di tambak maupun jala terapung.
Pemeliharaan menggunakan jala apung lebih mudah sewaktu memanen hasil,
dengan hanya mengangkat jala. Karamba jaring apung dipasang pada rakit, 4
karamba berukuran 3 x 3 x 3 m diikatkan dalam 1 rakit. Karamba menggunakan
jaring polietilen (no 380 D/9 dan 380 D/13, ukuran mata jaring 1 atau 2
". Beberapa rakit bisa digabungkan menjadi satu dilengkapi dengan
rumah jaga dan lantai kerja.
Summary :
Grouper as warm water fish lately has been having good price about Rp 70,000
(US$ 70.00 per kg) especially for big restaurant in and outside the country. The grouper used to exported in live to several countries such
as Singapore, Japan, Hongkong, Taiwan, Malaysia, and United States. High
price and compatability of the environment for grouper cultivation, as
Local Government invited Universities and Enterpreneur as partner to
explore those challenge of investment.
Feasibility studies conducted in Pangkalan Susu (Langkat, North Sumatera)
and Pacitan (East Java) to ensure the possibility for investment on grouper cultivation using pond raising system or even floating
karamba system (karamba = local term for basket of
dragnet put in a stream / lake for raising fish). The studies as cooperation between Local Gov't Pacitan Regency
and researcher of Indonesian University succeeded on maping 4 hectares
potential area in southern coast of Java. The closed distance to main
consumer in Singapore and large domestic market in Batam is another
advantage for developing the grouper rearing in Langkat, North Sumatera.
As not all coastal area suitable for rearing grouper, should the location be considered for several main factors as followed :
1. Protected from big wave and typhoon as used to stress fish and decreasing their
appetite.
2. Protected from predator threat which is marine carnivore and sea bird
3. Protected from industrial cesspool pollution, as well as compost heap and
household wastage
4. Protected from up and down of big ship traffic as they created wavelength and
ship disposal (diesel fuel)
Determining feasibility of location for cultivation grouper with floating net karamba system basically using cradit value based on several
key parameter. The location will be categorized as good as in range of 80 - 100;
feasible as in range 70 - 79; quite feasible as long as
under qualified parameter could be improved by technological approach;
and unfeasible criteria whereas the value below 60.
Species. Grouper has 46 species spread in several habitat,
grouped
within 7 genus and 3 genus has been commercially reared so far which
is Chromileptes, Plectropomus, and Epinephelus. The commercial species
Chromileptes altivelis known as polka dot grouper or hump backed rocked
or in local term as kerapu bebek. The species has grey body color with
black spot. Their habitat cover such areas from Kepulauan Seribu, Kepulauan Riau, Bangka, Lampung and ridge of rock waters territorial. Another
species known as Kerapu Sunuk (coral trout) used to find live in coral
waters. Also known as kerapu merah due to their red or brownish body color and change their color while in stress condition; and having blue
spots. Habitat areas from Kepulauan Karimunjawa, Kepulauan Seribu, south
ern Lampung, Kepulauan Riau, southern Bangka, and coral waters. Kerapu Lumpur is local term for estuary grouper (Epinephlus spp) has
black body color, and some time called as black grouper. This species
being a most reared considering their fast growing. Habitat areas most
ly in Banten Gulf, Segara Anakan, Kepulauan Seribu, Lampung and estuary
areas.
Rearing. Research Station so far faced a lot of obstacle in producing
grouper fry from artificial rearing. Farmers much depend on catch from
nature for their fry requirement using several devices such as fishhook,
lift up net tied between 2 rafts (or boats), 'sero' such kind of bamboo
trap used in rise and fall tides of waters, 'bubu' such kind of basket
of bamboo / wire plaited placed at the bottom of waters, dragnet pouch,
and pushing dragnet. Fry transported from the collection point to the
rearing area are put in 20 liter plastic bag, filled with 3 liter sea
water to hold 20 fry 25 gram body weight on average. Inside temperature
maintained at 17 - 20 Celcius degree for 1 - 2 days transportation.
Grouper in grower phase used to feed with under quality catch fish, cut
into pieces to suit the small opening mouth of the fish. Feeding 2 - 3
times a day. Entering the next phase (finisher), feeding rejected fish
given at 15 % of total biomass of the 20 - 50 g size of grouper. Feed
amount then decreased to remain 10 % of total biomass 100 gram size grouper. The best time for feeding is right after rising sun or right
before sun set.
Market weight fro grouper is about 500 gram which is different between
species (400 - 1200 gram for estuary grouper; 500 - 2000 gram for hump
backed rocked grouper). Daily growth rate also differ depend on species
and body weight. Grouper with initial weight 50 - 100 gram will grow
2 - 3 % daily, meanwhile 200 - 300 gram grouper will have 0.7 - 1.5 %
daily growth rate. It takes 5 months of rearing to have 500 gram market
weight from 100 gram initial weight. Estuary grouper fed with rejected
fish will have 5 - 8 feed conversion ration, compared to 8 -12 of coral
trout.
|
Reference :
1. Pramu Sunyoto. Pembesaran Kerapu dengan Karamba Jaring Apung.
Penebar
Swadaya. 2000.
2. Peluang Budidaya Kerapu di Pacitan. Bisnis Indonesia. aac.
9 May 2000.
3. BPS-KPKM Budidaya Kerapu. Bisnis Indonesia. esa. 3 April
2001
|
|