Selama periode gemerlap industri perudangan,
seringkali terlihat pertambakan udang di sepanjang pesisir utara pulau
Jawa. Tingginya permintaan dari Jepang, negara-negara Eropa dan Amerika
Serikat dan harga yang menarik (Rp 50.000 - 60.000 per kg) memicu
pembukaan tambak-tambak udang baru. Pada saat itu usaha tambak udang mampu
meningkatkan pendapatan petani tambak sampai 400 %. Mengingat keterbatasan teknologi, pengetahuan dan modal, tampaknya pemeliharaan
ekstensif untuk meningkatkan produksi udang merupakan jalan pintas yang
menjadi pemandangan biasa. Pendekatan ini ikut menyumbang kerusakan
lingkungan pantai yaitu punahnya hutan bakau yang beralih fungsi menjadi
pertambakan udang.
Penebangan hutan bakau lebih banyak disebabkan oleh ketidaktahuan petani
nelayan (petambak) yang berpikir bahwa kerindangan dedaunan bakau
menghalangi masuknya sinar matahari dan mengurangi luas areal untuk lahan
tambak. Ekspansi pembangunan dan pengoperasian tambak yang tidak
terkontrol menempatkan sumber hayati hutan bakau yang tumbuh sepanjang
81.000 km perairan pantai Indonesia terancam kepunahan. Luas hutan bakau
di Indonesia pada tahun 1980 tercatat adalah seluas 4,2 juta hektar,
tetapi sekarang hanya tersisa hutan bakau seluas 2,2 juta hektar, termasuk
40.000 hektar hutan bakau sepanjang 750 km di perairan pantai Kalimantan
Tengah. Fenomena kemunduran yang tidak jauh berbeda juga terjadi di
pesisir Jawa Tengah Dari sumber daya hutan bakau seluas 95.337 ha di
propinsi ini diketahui sebagian besar sekarang ini dalam kondisi terancam
yaitu seluas 94.814 hektar terdiri atas luasan 76.406 hektar di pesisir
utara dan 18.408 di pesisir selatan. Kerusakan parah hutan bakau
dicirikan oleh sangat sedikitnya vegetasi yang menysun hutan bakau dan
jarangnya spesies tanaman yang tumbuh di sekitar.
Hutan bakau (mangrove) berfungsi sebagai turap tanah pantai yang melandai,
mengendapkan lumpur, dan menyerap air yang mengandung mineral. Keberadaan
hutan bakau dalam sistem ekologi lingkungan begitu penting karena kawasan
tersebut merupakan daerah subur bagi berbagai spesies udang, ikan,
kepiting, larva serangga untuk mencari makanan dan bertempat tinggal.
Daun-daun hutan bakau mengendap di dasar perairan, terurai menjadi bahan
organik lebih sederhana dan yang menjadi sumber makanan bagi satwa renik
seperti amphipoda, misidaceae dan yang selanjutnya akan dimangsa oleh
larva ikan dan udang. Oleh karena itu suplai makanan bagi ikan besar di
perairan lebih dalam sangat tergantung pada kehidupan di kawasan hutan
bakau. Kepunahan hutan bakau akibat konversi yang berlebihan untuk
ekstensifikasi tambak akan dalam jangka panjang menurunkan produksi ikan.
Banyak program sudah dilakukan dalam rangka mengupayakan konsernasi hutan
bakau, antara lain dengan melibatkan secara aktif Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), Pemerintahan, Pesantren dan Petani nelayan itu sendiri.
Di antaranya dengan penanama kembali daerah-daerah hutan bakau kritis dam
penyuluhan yang intensif mengenai pentingnya fungsi hutan bakau dalam
ekosistem. Pendekatan budidaya tambak yang berwawasan lingkungan adalah
intensifikasi tambak dengan tidak merusak kawasan hutan bakau.
Belum lama ini Pemerintah melalui Departemen Eksploitasi Laut dan
Perikanan mengeluarkan rencana atau Program Peningkatan Eksport Hasil
Perikanan tahun 2003 atau disingkat Protekan 2003. Dengan latar
belakang kondisi di atas, Program ini masih mengundang kontroversi pro
kontra. Pemerintah melalui Protekan 2003 mencanangkan program jangka
menengah sub sektor perikanan untuk meningkatkan penerimaan devisa negara,
pendapatan petani nelayan dan penyerapan tenaga kerja.
Tabel 1. Peta 5 Besar Produsen Udang di Belahan
Timur (1999)
(Map of 5 Largest Eastern Half Shrimp
Production Countries (1999)) |
Country |
Production
(%) |
Production
(ton) |
Area
(hectare) |
Production
(kg/ha) |
Hatchery
(unit) |
Fish Pond
(unit) |
Thailand |
31.1 |
200,000 |
80,000 |
2,500 |
1,000 |
20,000 |
China |
17.1 |
110,000 |
180,000 |
611 |
2,000 |
10,000 |
Indonesia |
15.6 |
100,000 |
350,000 |
236 |
300 |
225,000 |
India |
10.9 |
70,000 |
130,000 |
538 |
225 |
100,000 |
Philippines |
6.2 |
40,000 |
60,000 |
667 |
120 |
4,000 |
World Shrimp Farming, 1999 Annual
Report (in J. Kitono, 2001) |
Secara spesifik, Protekan 2003 mentargetkan beberapa hal antara lain :
a. Penerimaan devisa negara US$ 10 miliar meliputi :
a.1. Ekspor komoditas hasil penangkapan US$ 2,64 miliar
a.2. Ekspor komoditas udang hasil budi daya US$ 6,78
miliar
a.3. Ekspor komoditas lainnya seperti rumput laut,
kakap putih, kerapu, mutiara dll
US$ 0,58 miliar.
b. Total produksi perikanan mencapai 6,06 juta ton meliputi :
b.1. Usaha penangkapan 4,95 juta ton terdiri atas 0,48
juta ton tuna / cakalang, 0,07
juta ton udang, 1,43 juta ton ikan
demersal, 2,60 juta ton ikan pelagis kecil, ikan
lainnya 0,38 juta ton.
Sebanyak 1,47 juta ton akan diekspor sedangkan sisanya
untuk bahan baku
tepung ikan dan konsumsi dalam negeri.
b.2. Usaha budi daya 1,1 juta ton (budi daya air payau
dan air laut).
c. Intensifikasi 212.600 ha lahan budi daya tambak yang akan tersebar di
17 Propinsi
yakni DI Aceh (30.205 ha), Sumut (3.200 ha), Sumsel (2.012
ha), Lampung (12.650
ha), Jabar (26.795 ha), Jateng (21.511 ha), Jatim
(30.670 ha), Bali (350 ha), NTB
(3.584 ha), Kalbar (300 ha), Kalsel (1.250
ha), Kaltim (9.580 ha), Kalteng (250 ha),
Sulsel (59.300 ha), Sultra
(7.494 ha), Sulteng (3.750 ha), dan Sulut (300 ha).
d. Penyediaan sarana faktor produksi berupa :
d.1. Benur 55,9 miliar ekor berasal dari 395 unit
pembenihan dan 6.564 unit HSRT.
d.2. Pakan udang 1,1 juta ton, pestisida 57.180 ton,
pupuk 141.380 ton, kapur
831.602 ton, bahan bakar minyak 2.944,5 juta
liter dan oli 87,6 juta liter.
d.3. Induk 467.000 ekor dengan kebutuhan artemia 280
ton dan pakan 280 ton.
Banyak pihak cukup pesimistis terhadap Protekan 2003 khususnya dari
kalangan pengusaha perikanan yang menganggap bahwa target pencapaian
produksi sebesar 6,06 juta ton terlalu tinggi mengingat angka patokan
sebesar itu sebenarnya tidak pernah direvisi dari tahun ke tahun. Terhadap
kehadiran Undang-undang no 12 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah perlu
diantisipasi kemungkinan negatif yang bisa menghambat pencapaian target
karena akan adanya pengkapling-kaplingan jalur-jalur penangkapan ikan dan
basis ekspor untuk kepentingan masing-masing Pemerintah Daerah. Sementara
kemampuan industri perikanan nasional sendiri masih banyak digelayuti
permasalahan yang besar seperti adanya pungutan-pungutan yang tidak perlu,
kesulitan pengembangan bisnis perikanan di daerah, dan hambatan perdagangan
di luar negeri.
Keprihatinan yang mendalam dan kekhawatiran akan bertambah rusaknya hutan
mangrove mendasari pemikiran atas keberatan dari kalangan Pencinta
Lingkungan. Dikhawatirkan bahwa target produksi yang demikian tinggi
dengan segala penyediaan faktor pendukungnya oleh Pemerintah bisa saja
memicu pembabatan hutan mangrove yang sulit dikontrol untuk dijadikan
lahan tambak (tradisional). Hasil ekspor dan devisa yang diperoleh
bisa saja tidak seimbang dengan dampak kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan akibat konversi hutan mangrove menjadi tambak udang.
Summary :
Every where shrimp pond along the northern coastal of Java during the
golden era of the shrimp industry in the past three years ago following
attractive price (Rp 50,000 - 60,000 per kg / US$ 5.0 - 6.0) in accordance with high demand coming from Japan, United States and European Countries. Farmers income increased 400 % from shrimp cultivation. The business that time as attractive as to motivate farmers expand extensively
by converting mangrove into shrimp pond.
Unskill farmers are most caust for choping down the mangrove as they
think leafy mangroves sheltered sunray and reducing pond area for shrimp
rearing. Loose control on extensive growing shrimp industry place 81,000
km of mangrove natural resources along the Indoneaian territorial waters
coastal in danger. Indonesian mangrove was to cover 4.2 million hectare
as recorded in 1980, but remaining 2.2 million hectare recently including 40,000 hectare mangrove along the 750 km Central Kalimantan coastal
waters. Coastal area in Central Java suffering the similar deterioration.
From almost 95,337 hectare of mangrove in the Province is now 94,814 hectare in critical condition which is 76,406 hectare in northern coastal
and 18,408 hectare southeren.
Mangrove functioned as to shelter slight coastal soil, settling the mud,
and absorbing water which contain minerals. The existence of mangrove in
environmental ecology is essential since the area much prosperous for
everal species of shrimp, fish, crab, insect larvae for feeding and living. Falling leaves of mangrove settled at the waters bottom will then
breakdown into plain organic matter as food sources for larval organisms
such as amphipodae, misidaceae which then a target of fry fish and
shrimp. The extinction of mangrove due to severely pond extensification
in the long term will decrease fish production.
Programs on mangrove conservation engaged such parties as NGO (non governent organixation), the Gov't, Pesantren (Islamic school mostly for children), and farmers themselves. The programs included replanting of severe
mangrove areas, and intensive extension on essential function of mangrove
in the ecosystem.
Lately the Gov't through Marine Exploitation and Fishery Department has
notified such program to increase the export fish yield in 2003 as popularly to call as Protekan 2003. By this program, increasing national foreign exchange income and farmers income. Specifically, Protekan 2003
program has several target as :
1. National foreign exchange income as much as US$ 10 billion including:
a. Catch fish export commodity as much as US$ 2.64 billion
b. Cultivated shrimp export commodity as much as US$ 6.78 billion
c. Others export commodity such as seaweed, tilapia, pearl as much as
US$ 0.58
billion.
2. The total 6.06 million ton fish production including :
a. Catch fish 4.95 million ton consist of 1.47 million ton as export commodity and the
remaining 2.48 million ton for local consumption and
fish meal processing.
b. Culture fish 1.1 million ton (brackish and warm water culture)
3. Intensifying 212,600 hectare of fish pond culture situated in 17
Provinces including
Aceh (30,025 ha), North Sumatera (3,200 ha), South
Sumatera (2,012 ha),
Lampung (12,650 ha), West Java (26,795 ha), Central
Java (21,511 ha), East Java
(30,670 ha), Bali (350 ha), West Nusa Tenggara (3,584 ha), West kalimantan (300
ha), South Kalimantan (1,250 ha), East Kalimantan (9,580 ha), Central Kalimantan
(250 ha), South Sulawesi (59,300 ha), South East Sulawesi (7,494 ha), South
Sulawesi (3,750 ha), and North Sulawesi (300 ha).
4. Supply of production input as :
a. Fry 55.9 billion heads
b. Shrimp feed 1.1 million ton, pesticide 57,180 ton, fertilizer 141,380
ton, lime
831,620 ton, fuel 2,944.5 million liter, and oil 87.6 million
liter.
c. Parent stock 476,000 heads with 280 ton of artemia and 280 ton of
feed
requirement.
Several national fish enterprises has been pesimistic on those strategic as mention in Protekan 2003 program, as they thought 6.06 million
ton production target is over estimated. The existence of Regulation no
12 year 1999 on Area Autonomy is another consideration since Local Gov't
will have authority to control their catch fish traffic and export basis
area for their own concerned. Too optimistic target will accelerate the
convertion of mangrove into traditional pond operation and facing mangrove into extinction.
|
Reference :
1. Hutan Mangrove Indonesia Terancam Punah. Suara Pembaruan.
3 Pebruari
2000. 106.
2. Tambak Berkembang, "Mangrove" Hilang. Kompas. 14
Desember 1999. eta/dth.
3. B.A. Murtijo. Tambak Air Payau , Budidaya Udang dan Bandeng.
Penerbit
Kanisius. 1989.
4. Kontroversi Seputar Protekan 2003, Saran Kaji Ulang Layak
Didengar. Bisnis
Indonesia. 04 Mei 2001. msb/ra/tis.
5. J. Kitono. Mewujudkan Budidaya Udang Ramah Lingkungan. Bisnis
Indonesia.
04 Mei 2001.
|
|